- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 541 Jiwa Selena telah runtuh total. Anak-anaknya menjadi pukulan terakhir yang merobohkan batinnya.
Betapa Selena sangat menanti-nantikan kelahiran sang anak, sebesar itulah rasa sedih dan putus asanya sekarang.
Air mata dan darah pun jatuh bersamaan, Selena berlutut di atas tempat tidur, mencengkeram rambutnya keras-keras. “Harvey, kamu harusnya blarkan aku mati saja. Hidup ini terlalu pahlt!” teriaknya.
Selena tidak bisa berpikir. Dia kehabisan alasan untuk hidup.
Selena merasa, dirinya adalah pembawa slal. Dia hanya menyeret keslalan untuk orang-orang di sekitarnya.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtSekali lagi. Harvey memeluk tubuh Selena. “Mau tahu alasanku menyelamatkanmu? Balklah, sekarang akan kuberi tahu kenapa.” Sambil berbicara, Harvey berlutut, memasangkan sepatu dan kaus kaki untuk Selena, kemudian dia mendekap dan menggendong tubuhnya.
“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Selena keheranan.
“Sebentar lagi kamu tahu,” jawab Harvey singkat.
Harvey membawanya ke salah satu ruang rawat Inap, diperuntukkan sebagal kamar tiga orang. Semual orang di dalamnya dibalut perban, ada beberapa yang memakal gips.
Nolan mungkin berniat pergi ke kamar mandi. Kakinya tertembak, sehingga dia hanya bisa berjalan dengan kruk dan menggunakan satu kaki untuk melompat. x] Melihat dua orang di ambang pintu, dia langsung mengucapkan salam hormat, “Tuan Harvey, Nyonya.” “Kakimu...” Suara Selena terdengar seperti tercekat.
Nolan tersenyum pahit sebelum menjawab, “Aku baik-baik saja.” Paling tidak, Nolan masih hidup. Dia tidak bernasib-macam sejumiah orang yang selamanya tidak bisa membuka mata lagi.
“Istirahatlah,” ucap Harvey. Selanjutnya, dia membawa Selena ke ruang perawatan lainnya untuk menemui semua orang, hingga langkahnya berakhir di ICU.
Melalui kaca, Selena melihat Jonathan terbaring lengkap dengan beragam alat yang terpasang di tubuhnya.
“Sudah tiga hari, dia masih kritis. Mungkin dia nggak bertahan sampai besok. Sekalipun dia bangun, perlu waktu lama untuk pulih total dan nggak akan pernah kembali ke kondisi semula.” Harvey melenguh tampa daya di telinganya. Sel sekarang kamu tahu kenapa aku menyelamatkanmu? Untuk melindungi kamu kemarin, total korban berjumlah 28 orang. Delapan terluka berat, 19 terluka ningan, dan seorang meninggal,” jelasnya dengan tulus.
Kata-kata itu terasa sungguh menusuk. Selena menggigit bibirnya seraya menahan tangis.
“Dia di mana?“” “Di ruang mayat. Sebenarnya, dua tembakan pertama nggak kena tik vital dan dia masih bisa bertahan hidup.
Sayang sekali, tembakan terakhir justru mengenai kepala.” Selena kembali membayangkan saat Lian menyelamatkan dirinya. Seolah-olah dia masih bisa melihat senyuman Lian dan darah segar dari tubuhnya yang begitu bangat.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm“Seli, kamu harus tenangkan dirimu. Masih ada banyak hal yang harus kita lakukan, Kamu nggak boleh mati, kamu harus tetap hidup. Hanya dengan bertahan hidup, kita bisa menangkap penjahat di balik semua ini,” tutur Harvey.
Harvey memegang bahu wanita itu dengan kedua tangannya. Mata tajamnya tampak kemerahan. Dia belum tidur selama tiga hari tiga malam. Dia juga merasakan kesedihan yang mendalam atas kepergian anak-anaknya.
“Aku nggak akan melupakan begitu saja semua yang terjadi hari ini. Kamu harus tetap hidup, saksikan bagaimana aku membalas dendam dan menumpahkan darah mereka sebagai penghormatan atas orang -orang yang telah gugur.” Hanya ada kekacauan yang berkecamuk dalam kepala Selena, serasa tidak bisa mendengar suara apa pun dan telinganya berdengung.
Hingga beberapa waktu berlalu, perlahan dia berkata, “Bisakah kamu membawaku menemuinya?” “Seli, kondisimu sekarang nggak baik buat pergi ke tempat seperti itu. Jangan lupa, kamu baru saja selamat dari kematian.” Selena menundukkan kepala, jari-jarinya meremat lemah pada kerah Harvey, merasa terkurung bagai sedang dalam penjara.
Selena berkata sangat lirih, “Kumohon, beri aku kesempatan untuk melihatnya...” Air matanya berjatuhan di lantai yang dingin, menetes di tengah lingkaran-lingkaran air kecil.
Karena air mata, suara Selena pun terdengar sengau, “Aku ... aku hanya ingin melihatnya untuk terakhir kali.
Melihatnya saja...” Selena yang seperti ini membuat Harvey sangat iba. Dia tidak bisa menolaknya lagi.
“Oke,” jawab Harvey berat hati, dengan suara berada rendah.