- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Tubuh kecil Oliver membeku, lalu menoleh pada Asta yang berjalan masuk ke ruang
makan. Asta masih memegang ponselnya di tangan, kemeja hitam dengan dua
kancingnya yang tidak terkancing, pinggangnya yang ketat dan kakinya yang ramping,
dan sepasang mata tajamnya yang terlihat sedikit marah. Anak itu mengatupkan bibirnya,
dan wajah tembemnya tampak enggan dan berkata dengan nada suara yang berbeda :
“Ayah.” Hati Samara membeku saat dia menatap sepasang mata tajam yang dalam itu,
jadi bocah yang mempunyai ular ini adalah putranya Asta? Jadi Asta tidak hanya memiliki
seorang putri, Olivia, melainkan sepasang anak kembar? Asta melirik Oliver dengan acuh
tak acuh : “Apa yang ada didalam kepalamu itu? Memintanya menjadi wanitamu,
kenapa?” Oliver sedikit takut melihat Asta, tetapi dia ingat bahwa dia baru saja
bersumpah di depan Samara bahwa dia akan melindunginya, jadi dia tidak boleh kelihatan
gusar didepan ayahnya, dan bersikeras berkata : “Ayah, saya menyukainya, dan saya
ingin dia tetap disini.” Kening Asta berkerut lebih dalam lagi : “Apa kamu mengerti apa itu
rasa suka?” “Tentu saja!” Oliver menggaruk telinganya, dan rona merah samar muncul di
pipinya : “Ayah, bisakah kamu berhenti memperlakukanku sebagai anak kecil? Saya sudah
dewasa, saya tahu saya harus menunjukkan inisiatif pada wanita yang kusukai.” “Siapa
yang mengajarimu kata-kata ini?” Asta bertanya dengan dingin. “Saya….” Tatapan Asta
membuat Oliver sedikit ketakutan. “Oliver, siapa yang mengajarimu?” Oliver memutar
mata hitamnya beberapa kali, lalu menjual pamannya, Alfa : “Paman, saya mendengarnya
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtberbicara seperti itu pada seorang bibi, dan bibi itu menjadi sangat senang, jadi saya kira
kalau saya berbicara seperti itu, dia juga akan senang, lalu tetap menemaniku disini….”
Mendengar ucapan putranya, Asta sudah menyimpan masalah ini dalam hati dan akan
membuat Alfa membayar harganya. “Kembalilah ke kamarmu, ada yang ingin saya bahas
dengan Nona Samara.” Asta melirik sejenak anak itu. Oliver masih ingin menghabiskan
waktu dengan Samara, tapi tatapan ayahnya itu seolah menyuruhnya untuk segera pergi,
jangan-jangan dia sendiri menyukai wanita ini, dan ingin berduaan dengannya, jadi tidak
membiarkan dia, putranya sendiri mendekatinya? Anak itu bergumam samar-samar :
“Ayah sendiri ingin memilikinya…jadi menggunakan statusnya sebagai ayah untuk
menekan orang…tunggu saja…” “Oliver, apa yang sedang kamu katakan?” Oliver
menggelengkan kepalanya dengan patuh : “Saya..saya akan kembali ke kamar.” Dan
sebelum naik keatas, anak itu tidak lupa menatap Samara dengan serius dan menjelaskan
: “Ayah tidak membiarkanku disini, jadi saya hanya bisa berpamitan denganmu, bye-bye.”
Mulutnya memang mengatakan seperti itu, tapi tatapannya seolah berkata pada Samara,
Ayah sudah tua dan tidak mengerti apapun, maafkan saya ya. Samara berjongkok dan
mengelus kepala anak itu : “Bye-bye~~” Setelah melihat Oliver pergi, Samara berbalik
dan melihat Asta sedang menatapnya dengan tenang, tatapan matanya yang dalam
membuat jantungnya berdetak kencang. “Nona Samara, sepertinya sangat terampil dalam
mengurus anak ya?” “Mungkin?” Samara merasa dirinya bukanlah ibu yang baik dalam
merawat anaknya, dia juga sangat ingin menjaga kedua putranya dengan baik, namun
setelah Xavier dan Javier berangsur-angsur dewasa, sebaliknya malah merekalah yang
menjaga ibunya dengan sangat baik. Setelah makan malam, Samara mengikuti Asta
menuju ruang baca di lantai dua. Di ruang baca. Selain perabotan, Samara juga melihat
satu set rak buku yang megah, tingginya mungkin mencapai lima meter, dan memerlukan
tangga untuk mencapai rak paling atas untuk mengambil buku, benar-benar cocok untuk
belajar dan bekerja dengan serius disini. Tatapan Asta sangat dingin, tapi fokus : “Nona
Samara, sebenarnya memang ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Anda, saya
memerlukan bantuanmu untuk menyembuhkan seseorang.” Samara mengerutkan
keningnya, dia berpikir kalau dia sudah menyembunyikan identitasnya sebagai tabib
dengan sangat baik, dan bagaimana pria didepannya ini bisa mengetahui identitasnya?
Kalau dia tahu, sebanyak apa yang dia tahu? Atau apakah pria ini sudah tahu wajah
aslinya di balik topeng ini? Samara mencoba mengelak : “Tuan Asta, kalau Anda sudah
memeriksa latar belakangku, maka Anda pasti tahu saya ini dokter forensik, bukan dokter.
Hanya berbeda satu kata namun perbedaannya beribu kilometer.” Asta melangkah
mendekat pada Samara,, dan mata tajamnya itu tidak berhenti menatapnya dengan
intens. Sedangkan Samara yang ditatap olehnya merasa seperti seorang bayi yang baru
dilahirkan, berdiri didepan Asta tanpa dibungkus sehelai pakaian pun, dan membiarkan
matanya menatap dan menilai dirinya sendiri. “Olivia sudah mengidap afasia sejak kecil,
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmdan saya sudah membawanya menemui berbagai dokter, tapi mereka semua mengatakan
kalau penyakitnya ini bukan penyakit turunan, melainkan terjadi karena masalah
psikologisnya.” Asta berhenti sesaat sebelum melanjutkan lagi : “Kamu adalah orang
pertama yang membuatnya bisa berbicara, dan membuatnya mengucapkan kata ‘ibu’….”
“Saya membuatnya bisa berbicara?” “Tidak ada gunanya saya membohongimu.” Asta
menatap wajah Samara yang sempat kaget lalu berkata dengan tenang : “Saya hanya
ingin kamu membantu membuat hati Olivia sedikit terbuka.” Mendengar itu, Samara
menghela nafasnya dan merasa lega karena ini tidak ada hubungannya dengan identitas
aslinya. “Asalkan kamu bisa menyembuhkan penyakit afasia yang diidap Olivia, kamu
boleh mengajukan persyaratan apa saja padaku, saya pasti akan memenuhinya.” “Tidak
perlu.” Samara menggelengkan kepalanya dan tidak lagi tersenyum. “Hati manusia
bagaikan ular yang ingin menelan gajah.” Asta mengernyitkan keningnya dan nada
bicaranya terdengar sedang menahan kesinisannya : “Entah persyaratan apa yang kamu
inginkan, bahkan Keluarga Costan pun tidak akan sanggup memenuhinya?” “Saya rasa
orang yang tidak tahu berpuas hati adalah kamu sendiri.” Samara meliriknya dengan
malas : “Tidak perlu artinya saya tidak perlu Keluarga Costan untuk memenuhi
persyaratan apapun terhadapku.” Samara menjawab dengan rendah hati sambil menatap
tajam pada mata Asta yang tajam. “Tuan Asta, saya bersedia membantu menyembuhkan
afasia Olivia tanpa persyaratan apapun.” “Tanpa persyaratan apapun?” Mata licik Samara
seperti rubah kecil yang lucu : “Saya menyukai Olivia, dan saya juga tidak keberatan
sering-sering bertemu dengannya, hanya itu. Mengenai kamu dan Keluarga Costan, saya
tidak tertarik sama sekali.”