- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 231
Tak berselang lama, Elan membawa Tasya melewati sebuah jembatan, tampaknya tengah menuju ke pantai.
Sementara itu. Tasya merasa senang. duduk di mobi barunya sambil mengagumi daya kekuatannya. Oh, aku
sangat menyukai
mobilku ini. Rasanya seperti seekor kuda liar yang sedang berlari dengan bebasnya di hamparan rumput yang
luas.
Tidak lama setelah itu, mereka tiba di jalan pesisir yang bebas hambatan tanpa terlihat mobil lain di sana.
Kemudian, Elan keluar dari mobil dan meminta Tasya duduk di bangku pengemudi. Sesaat kemudian dia melihat
betapa segeranya
laki–laki itu mengencangkan sabuk pengamannya. Apakah dia sama sekali tidak percaya padaku? Apakah
keterampilanku menyetir mobil benar–benar mengerikan?
“Ganti persneling. Lalu, injak gas perlahan, baru melaju.”
Di bawah instruksi Elan, Tasya menginjak pedal gas dengan lembut untuk merasakan sensasi ketika mobilnya
perlahan
lahan berjalan maju. Baru setelah itu dia mulai merasa jauh lebih lega dan bisa tersenyum lebar, gembira. Di saat
yang sama, Elan juga mulai terlihat senang, sorot matanya melembut sambil tersenyum karena terpengaruh aura
positif yang terpancar dari Tasya.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtDengan melaju kian kemari di jalan yang sama, pegangan Tasya pada kemudi semakin longgar. Sementara itu, dia
juga mulai mengerti berapa tekanan yang harus dia berikan pada pedal gas, dan bersikap tenang, tidak seperti
kegugupannya sebelumnya.
Tak lama setelah itu, Elan menyuruhnya untuk lanjut mengemudi dan Tasya melakukan persis seperti yang
dikatakan. Akhirnya, mereka tiba di hotel bintang 5, Elan kemudian membuka pintu dan melangkah turun.
“Bagaimana kalau kamu membalas bantuan dariku dengan menjamuku makan?”
Karena merasa bahagia dengan mobil barunya, Tasya menaikkan alisnya dan memberi jawaban tegas. “Tak
masalah!”
Tiba–tiba, ponselnya berbunyi, dan ketika melihat lebih seksama dia pun menepuk dahinya karena teringat bahwa
seharusnya dia makan bersama Omar siang itu.
“Maafkan aku, Omar. Saat ini aku sangat sibuk, jadi kurasa tidak bisa bertemu denganmu untuk makan siang.
Bagaimana kalau kita pindah ke makan malam saja nanti?” Tasya menunda pertemuannya ke malam hari, karena
merasa memiliki lebih banyak waktu dan Felly bersedia untuk mengerjakan konsep yang dimintanya.
“Baiklah, sampai jumpa nanti malam kalau begitu,” jawab Omar dengan ramah.
“Iya, sampai jumpa nanti malam.” Tasya tersenyum, sambil memikirkan dia harus membalas budi baik Omar yang
sudah membantunya sebelum ini dengan mengajaknya makan malam. Sesaat setelah menutup telepon, mata
Tasya bertemu pandang dengan tatapan laki–laki yang seperti hewan liar kelaparan yang hendak memakannya.
“Ada apa?
Kamu tidak sabar mau menjamu makan laki–laki lain?” Elan menyindir Tasya.
Tasya menjawab dengan tatapan heran, “Kamu sudah membantuku, oleh karena itu sekarang, aku menjamu
makan
siang, tetapi saat ada orang lain membantuku, tidakkah kamu berpikir bahwa sudah seharusnya aku berlaku sama
untuk menunjukkan rasa terima kasihku? Bisakah kamu bersikap masuk akal sedikit?”
Sebagai orang yang agak sensitif dengan kata–kata, Elan semakin cemburu setelah mendengar jawaban Tasya,
dan
mengira dia sedang mengeluh atas sikapnya. Orang macam apa dia sampai begitu baik hati mau memperbaiki
komputer Tasya tengah malam? Sambil berpikir hal itu, Elan masuk ke restoran dengan wajah muram.
Saat Tasya memesan beberapa menu, Elan tampak cemberut dan membiarkannya membuat semua keputusan,
yang justru merusak suasana hati Tasya saat menyadari ekspresi masamnya itu. Oleh karena itu, sambil menopang
dagu Tasya menatap laki–laki berwajah tampan itu dengan mata besarnya.
Laki–laki ini memang sangat tampan sampai hampir saja aku menggambarkannya sebagai sebagai laki–laki
sempurna kalau saja sikapnya tidak selalu tidak angkuh. Lagipula, tampang masamnya itu membuat seluruh
perempuan menjauh darinya. “Apa yang membuatmu kesal, bung? Apakah ada orang yang berhutang padamu?”
Tasya menggodanya.
Elan melirik pada perempuan ini dengan tatapan mengintimidasi. “Kamu tidak boleh jatuh hati pada laki–laki lain
selain aku, Tasya.”
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmTanpa banyak bicara, Tasya dengan jelas dapat menyimpulkan bahwa ucapan laki–laki ini adalah sebuah perintah,
bukan peringatan. Tetapi, bagaimanapun juga, karena sudah bosan mendengar itu darinya lagi dan lagi, Tasya pun
menyipitkan matanya dan menatapnya lekat–lekat. “Pak Elan, hatiku sedang senang hari ini, tetapi kenapa kamu
malah menghancurkannya?”
Diusik oleh emosi yang dipendamnya, Elan merasa ingin melompat ke laut untuk menenangkan diri, tetapi saat
dilihatnya Tasya tidak menghiraukan perasaannya, dia merasa sangat kecewa. Aku selalu ada di sampingnya
selama ini, tapi apakah dia tidak merasakan kehadiranku sama sekali?
“Tasya, apakah hatimu itu terbuat dari batu atau materi lain? Tidakkah hatimu luluh pada orang yang sudah
bersimpati
terhadapmu?” mata Elan penuh akan kebencian.
“Elan, kurasa kamu harus berhenti membuang waktumu memikirkanku. Ruang dihatiku sudah cukup untuk dua
laki
laki di dunia ini. Satu untuk anakku, dan satu lagi untuk ayahku.” Tasya mengangkat cangkirnya, mencoba terlihat
tenang dan keren, tetapi lupa kalau teh yang dia tuangkan masih panas. Oleh karena itu, dia buru–buru
meletakkan
cangkir kembali dan malah membuat diri sendiri terlihat bodoh.
Previous Chapter
Next Chapter