- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
“Tasya, tolong! Aku dilecehkan di kelab!” Suara putus asa dan tak berdaya sahabatnya adalah satu-
satunya yang ada di benak Tasya Merian saat dia bergegas menuju kelab malam. Ruang 808. Tasya
menatap plakat nomor di pintu ruangan pribadi itu. Nomor ruangan tersebut sama dengan yang
dikirimkan sahabatnya, Helen Sanjaya, kepadanya melalui pesan teks. Tanpa berpikir panjang, wanita
itu mendobrak pintu untuk menyelamatkan temannya. Ketika pintu berayun terbuka, dia disambut oleh
kegelapan yang ada di dalamnya. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat mencengkram pergelangan
tangannya dan menyeretnya ke dalam ruangan gelap itu, diikuti oleh bunyi gedebuk keras ketika pintu
dibanting menutup. “Hei—siapa kau, dan apa yang kau inginkan?!” Tasya berteriak, matanya bergerak
liar saat dia mencoba melihat sekeliling. “Tenanglah dan aku akan memperlakukanmu dengan baik.”
Suara dalam dan serak seorang pria berbicara di dekat telinganya. Detik berikutnya, Tasya dilempar
begitu saja ke sofa, dan sebelum dia bisa bangkit, sebuah tubuh ramping dan kuat menindihnya. Tasya
menangis tertahan ketika sepasang bibir yang terasa seperti pepermin menangkap bibirnya. Pria yang
berada di atasnya terasa begitu panas ketika kulit mereka bersentuhan. Perasaan putus asa
membuatnya menangis. Tasya mencoba untuk melawan, namun pada akhirnya, dia tidak bisa
melakukan apa pun selain menghadapi keganasan pria itu. Satu jam kemudian, Tasya terhuyung-
huyung keluar dari ruangan itu dengan penampilan yang berantakan. Dia baru saja mengalami mimpi
buruk, namun hal itu tidak membuatnya berhenti mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Dia baru
saja hendak menelepon nomor Helen ketika dia melihat sekelompok pria dan wanita berjalan keluar
dari pintu samping. Di bawah cahaya lampu, dia langsung mengenali kedua wanita yang ada dalam
kelompok itu. Salah satunya adalah Helen, sahabatnya yang berteriak minta tolong di telepon
sebelumnya, sementara yang satu lagi adalah saudara tiri Tasya, Elsa Merian. Kedua gadis itu berjalan
berdampingan dengan tangan tertaut, seolah-olah mereka adalah teman terdekat satu sama lain. Rasa
terkejut dan marah mewarnai wajah Tasya ketika dia melihat mereka. “Berhenti di situ, Helen!” Dia
berteriak lantang dari kejauhan sementara tinjunya mengepal erat di sisi tubuhnya. Mendengarnya,
Helen dan Elsa berbalik untuk menatapnya. Tasya memelototi keduanya dengan tatapan marah dan
wajah pucat saat dia membentak Helen, “Kenapa kau berbohong padaku?!” Helen menyeringai.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt
“Bukan salahku kalau kamu selalu mudah tertipu, Tasya.” “Apa kamu bersenang-senang dengan gigolo
itu di sana?” Elsa bertanya dengan nada yang terdengar seperti nyanyian sembari tersenyum jahat.
Baru pada saat itulah Tasya menyadari bahwa mereka berdua telah menjebaknya. Kesucian yang dia
junjung tinggi selama sembilan belas tahun terakhir kini telah dikorbankan untuk kesenangan jahat
mereka. Saat ini, tatapan mata Helen begitu dingin sementara dia mendidih oleh amarah, “Apa kamu
benar-benar mengira aku adalah temanmu, Tasya? Aku hidup dalam bayanganmu sejak pertama kali
kita bertemu! Aku benci padamu dan aku tidak menginginkan apapun selain menghancurkan wajahmu
itu!” Elsa, di sisi lain, langsung menyela dengan cemoohan, “Aku punya bukti yang aku butuhkan untuk
menunjukkan kepada Ayah bahwa kamu telah menjual dirimu sendiri di kelab demi uang. Tidak butuh
waktu lama hingga kau diusir dari rumah!” “Kalian berdua—” Tasya benar-benar marah sehingga dia
sempoyongan. Tubuhnya tercabik-cabik setelah cobaan berat yang dia alami. Ditambah pula dengan
beban pengkhianatan temannya dan kekejaman saudarinya yang secara bersamaan nyaris
merobohkannya. “Ayo pergi, Helen! Kita tidak ingin terlihat membawa sampah, bukan?” Dengan
tangan yang melingkar di lengan Helen, Elsa menuntunnya menuju mobil sport yang dia parkirkan di
tepi jalan. Tiga hari kemudian, di Kediaman Merian, terdengar suara dalam seorang pria yang berteriak
marah, “Kau menjadi perempuan bayaran demi uang hanya karena aku tidak mengizinkanmu
melanjutkan studi ke luar negeri? Bagaimana bisa aku, Frans Merian, memiliki seorang putri yang tak
tahu malu sepertimu?” “Ayah, aku tidak melakukan—” “Kamu tidak melakukannya? Tapi kamu
melakukannya, Tasya! Bagaimana bisa kamu melakukan hal tidak senonoh semacam itu? Apa kami
membuatmu kelaparan, atau apakah kami membuatmu kehilangan sesuatu? Aku tidak percaya kamu
akan menjual diri kepada sembarang orang di kelab malam yang menjijikan. Untuk kebaikanmu
sendiri, kuharap kamu tidak membawa pulang penyakit apa pun ke rumah ini. Siapa yang tahu
penyakit apa yang bisa kau tularkan kepadaku dan putriku.” Wanita yang mengenakan perhiasan dan
pakaian bagus itu mencibir dari tempat duduknya di sofa. “Ayah, aku benar-benar tidak melakukannya.
Aku—” Tasya mencoba menjelaskan. Namun, Frans tidak ingin mendengar sepatah kata pun darinya.
Pria itu memelototinya dengan marah saat dia membentak, “Jadi begitu. Kau masih berbohong
padaku. Keluar dari rumah ini sekarang juga! Mulai sekarang, kau bukan lagi anakku!” Sementara itu,
di tangga, Elsa menyaksikan adegan ini dimainkan selagi dia bersandar di pegangan tangga sambil
bertopang dagu. Segalanya berjalan persis seperti yang dia rencanakan. Dalam hitungan menit, Tasya
akan diusir dari rumah dan berkeliaran layaknya anjing liar yang menyedihkan. Di ruang tamu yang
terletak di lantai bawah, Tasya terdiam ketika melihat ekspresi murka dan kecewa di wajah ayahnya.
Tanpa berkata-kata, wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menaiki tangga untuk
mengemasi barang-barangnya. Dia baru saja mengitari tangga ketika Elsa menghalanginya. Dengan
angkuh, gadis yang lebih muda itu menyilangkan tangan di depan dadanya dan mencibir, “Keluar dari
sini! Jangan berlama-lama layaknya perusak pemandangan. Rumah ini tidak akan pernah punya
tempat untukmu lagi!” Tasya mengepalkan tinjunya saat dia menatap ekspresi senang Elsa dengan
penuh amarah. Melihat kebencian dan kemarahan di mata Tasya, Elsa mencondongkan tubuhnya ke
depan. “Apa? Apa kau ingin menamparku atau semacamnya?” Dia menghadapkan pipinya ke arah
gadis yang marah itu dan berkata dengan angkuh, “Kalau begitu, silakan!” Tanpa menahan diri, Tasya
mengarahkan tangannya ke wajah Elsa, menghasilkan sebuah tamparan keras. “Ah!” Elsa menjerit
nyaring. “Kau baru saja memukulku! Ibu, Ayah—Tasya baru saja memukulku!” Dia melolong sambil
berlari menuruni tangga. Pingkan Hikari dengan cepat menarik putrinya ke dalam pelukannya dan
berteriak sembari menaiki tangga, “Beraninya kau menyerang putriku, Tasya! Apa-apaan?!” Frans
melirik ke arah jejak merah di pipi Elsa dan merasa sangat kecewa. Sejak kapan putri sulungku
menjadi sangat memberontak? “Ayah, sakit…” Elsa terisak dan dia membenamkan diri ke dalam
pelukan ayahnya. Secara berlebihan, dia menarik napas dalam-dalam seolah dia sangat kesakitan.
“Keluar dari sini, Tasya!” Frans meraung sembari menaiki tangga. Setelah mengemasi barang-
barangnya, Tasya mengambil paspornya dan berjalan menuruni tangga. Hatinya menjadi membeku
ketika dia melihat bagaimana ayahnya sendiri memeluk Elsa seakan-akan gadis itu adalah sesuatu
yang berharga. Tasya pun tahu bahwa dia memang tidak memiliki tempat di hati pria itu. Frans hanya
mendengar cerita dari perspektif Elsa alih-alih bertanya kepada Tasya tentang kejadian mengerikan
yang dia alami tadi malam. Sejak ibunya wafat, dia telah menghabiskan bertahun-tahun hidup di rumah
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmini layaknya orang luar, karena ayahnya telah membawa pulang selingkuhan dan anak haramnya untuk
membentuk keluarga baru. Ibu Tasya yang malang tidak pernah mengetahui perselingkuhan suaminya,
bahkan setelah kematiannya. Aku tidak akan pernah kembali lagi ke tempat ini. Di dalam rumah, Elsa
memperhatikan Tasya yang menyeret kopernya keluar dari pintu depan. Senyum jahat tersungging di
bibirnya. Aku akhirnya menyingkirkan perusak pemandangan yang tidak berguna itu! … Lima tahun
kemudian, ketukan datang dari pintu depan sebuah apartemen di Bekasi. Wanita yang tinggal di
apartemen tersebut tengah mengamati desainnya ketika dia mendengar ketukan itu. Sedikit
kebingungan, dia berjalan menuju pintu dan membukanya dengan kesal. Ketika dia melihat dua pria
Asia yang mengenakan setelan, wanita itu bertanya dalam bahasa Cina, “Anda mencari siapa?”
“Apakah Anda Nona Tasya Merian?” Salah satu dari kedua pria itu bertanya dalam bahasa Indonesia.
“Ya, benar. Dan Anda?” Tasya ditekan. “Kami diminta untuk mencarimu. Ibumu, Amalia Chandra, dulu
pernah menyelamatkan nyawa tuan muda kami. Nyonya besar yang kami layani ingin bertemu
denganmu.” Wanita itu mengernyitkan kening. “Siapa nyonya yang Anda layani?” “Nyonya Prapanca,”
pria pertama menjawab dengan hormat. Mendengar hal ini, Tasya mengerti apa yang membawa kedua
pria ini kemari. Nyonya Prapanca adalah sosok wanita di belakang Grup Prapanca, perusahaan
konglomerasi terkemuka di negeri ini. Bertahun-tahun yang lalu, ibu Tasya telah mengorbankan
hidupnya untuk menyelamatkan cucu tertua Nyonya Prapanca. Tasya sangat bangga dilahirkan oleh
seorang perwira polisi yang cakap dan jujur seperti Amalia. “Maaf, tapi aku tidak ingin menemuinya,”
Tasya berkata dengan tegas. Dia menduga bahwa keluarga Prapanca ingin membalas kebaikan besar
Amalia, namun dia tidak berencana untuk menerima kebaikan mereka sama sekali. Saat itu juga,
suara anak kecil yang penasaran terdengar dari suatu tempat di dalam apartemen itu, bertanya, “Bu,
siapa itu?” “Bukan siapa-siapa,” jawab Tasya dengan terburu-buru. Kemudian, dia berbalik untuk
berbicara kepada para pria di pintu, “Maaf, tapi aku benar-benar tidak ingin ada tamu saat ini.” Setelah
itu, dia menutup pintu. Sementara itu, di pedesaan, seorang pria duduk di sofa di dalam vila yang
terletak di tengah bukit. “Apakah kamu sudah melacaknya?” “Ya, Tuan Muda Elan. Gadis dari kelab
malam lima tahun lalu itu baru saja menjual jam tanganmu di pasar barang bekas.” “Cari dia,” kata pria
di sofa, suaranya dalam dan berwibawa. “Baik, pak!”