- Novel-Eng
- Romance
- CEO & Rich
- Billionaire
- Marriage & Family
- Love
- Sweet Love
- Revenge
- Werewolf
- Family
- Marriage
- Drama
- Alpha
- Action
- Adult
- Adventure
- Comedy
- Drama
- Ecchi
- Fantasy
- Gender Bender
- Harem
- Historical
- Horror
- Josei
- Game
- Martial Arts
- Mature
- Mecha
- Mystery
- Psychological
- Romance
- School Life
- Sci-fi
- Seinen
- Shoujo
- Shounen Ai
- Shounen
- Slice of Life
- Smut
- Sports
- Supernatural
- Tragedy
- Wuxia
- Xianxia
- Xuanhuan
- Yaoi
- Military
- Two-dimensional
- Urban Life
- Yuri
Bab 970
“Starla,” Rendra menyapa sembari membuka kancing jasnya karena suhu rumah yang hangat. Setelah melepas
mantelnya, dia memperlihatkan rompi berwarna gelap dan kemeja putih di dalamnya. Keduanya mempertegas
garis pinggangnya dengan sempurna sementara celana panjangnya menutupi kakinya yang
jenjang.
“Kamu sudah makan?” tanya Starla penuh perhatian.
“Sudah.” Rendra duduk di seberangnya dengan raut wajah sedikit pasrah. “Saya baru saja mendapat kabar kalau
Raditya meretas situs gelap dan memperoleh banyak informasi. Saya rasa dia ingin bergerak sendiri.”
“Apa?!” Wajah Starla memucat dan matanya memerah. “Dia masih belum menyerah rupanya?”
“Starla, kenapa tidak kita biarkan saja dia bergabung dalam misi ini?”
“Apakah ada cara lain untuk menghalangi langkahnya?” Dia masih berharap putranya tidak akan bergabung dalam
misi ini, karena khawatir dia akan kehilangan akal sehatnya sampai mempertaruhkan hidupnya hanya untuk
membunuh orang yang sudah menghabisi ayahnya. Hal itu akan membahayakan nyawanya juga.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikan langkahnya sekarang ini. Saya sudah bertemu dengan Tuan
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtBesar Laksmana dan dia ingin Raditya untuk membuat keputusan sendiri. Dia tidak mau ikut campur.”
“Dia sangat mengenal Raditya. Tidak ada gunanya menghentikan tindakannya.” Starla menghela napas saat
menatap adiknya. “Rendra, tolong dia.”
Paham akan maksud kata–katanya, Rendra mengangguk. “Saya akan melakukan segalanya untuk membantunya.”
“Dan satu hal lagi–Raditya punya kekasih. Kamu harus memindalikannya ke departemen lain, sehingga dia tidak
akan menjalani misi ke luar negeri. Setidaknya dia bisa tinggal di dalam negeri dengan cara itu.”
“Serahkan saja pada saya.” Setelah itu, dia tersenyum. “Dia punya kekasih?”
Starla memandanginya. “Dengar. Raditya saja berkencan. Tidakkah kamu berpikir bahwa kamu pun seharusnya
juga sedikit berusaha? Pekerjaan memang penting, begitu juga dengan pernikahan.”
“Saya sibuk bekerja. Tidak ada waktu untuk itu.” Jelas ini sebuah penolakan.
“Lagi–lagi kamu seperti itu.” Starla menunjukan sejumlah foto. “Ini orangnya. Cantik, bukan?”
Rendra melihat foto itu lebih dekat. “Hmm. Cantik.”
Tiba–tiba, Starla terpikir akan sesuatu lalu berkata, “Saya ingin mengundangnya untuk makan malam Jumat
ini.”
Di tempat lain, Anita yang tidak bisa tidur berguling–guling ke sana kemari di tempat tidurnya yang sepi. Seolah–
olah perasaan terpendam yang dia miliki untuk Raditya melonjak keluar seperti air terjun, mendorong hatinya yang
malu–malu.
Sejumlah nerasaan instri terasa semakin kuat anabila semakin lama dinendam layaknya hewan huas vanu
1/2
Sambil berbaring di atas kasur, dia meraih ponselnya dan mencoba mengekang perasaannya yang mana malah
membuatnya memutuskan untuk menghubungi nomor laki–laki itu.
Beberapa detik kemudian, suara parau terdengar di telinganya. “Hei.”
Ketenangan di dalam hatinya pun terusik. “Kamu sudah tiba di rumah?”
“Hmm. Baru saja masuk kamar.”
“Oh. Saya hanya bertanya. Saya senang kamu sudah sampai rumah. Sampai jumpa!” Anita terlalu malu bicara
dengannya lebih lama lagi. Rasanya dia sangat rindu untuk berbicara dengannya.
“Apakah kamu ada waktu besok? Saya mau mengajakmu makan,” tanya Raditya dengan suara rendah.
“Saya harus ke kantor ibu untuk rapat pemegang saham. Saya harus ikut rapat itu, tetapi bisa makan siang di luar.”
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm
“Bagus. Saya akan jemput kamu besok siang.”
“Saya bisa ke sana sendiri. Kita tidak bisa membiarkan ibu melihatmu.”
“Kenapa? Apakah saya tidak cukup pantas?” Raditya mendesah.
Anita tertawa kecil. “Bukan begitu.”
Memikirkan komentar ibunya tentang Raditya, dia jadi kehabisan akal meskipun saat itu ibunya hanya ingin
menghibur Henida.
“Kamu sedang apa?”
“Saya sedang berbaring di kasur, mau tidur,” jawabnya jujur.
“Apakah kamu rindu pada saya?”
“Tidak,” Anita mengelak.
“Tetapi saya rindu padamu,” ujar Raditya tiba–tiba.
“Kenapa?” tanyanya malu–malu.
“Menurutmu kenapa?” Raditya balik bertanya.
“Saya tak tahu!” Anita sengaja tidak menjawab, tetapi percakapan mereka berputar–putar saja seperti pertanyaan
kekanakkan.
“Saya mau mandi dulu.” Saat Raditya menyatakannya, suara gemerisik pakaian terdengar dari seberang telepon.